Beberapa bangunan bercorak Islam di Sumatera utara sebagai berikut:
1.
MASJID AZIZI
Masjid Azizi adalah masjid
peninggalan Kesultanan Langkat yang berada di kota Tanjung Pura, Kabupaten
Langkat, Sumatera Utara yang merupakan ibukota kesultanan Langkat pada masa
lalu. Masjid ini terletak di tepi jalan lintas Sumatera yang menghubungkan
Medan dengan Banda Aceh.
Mulai dibangun oleh Sultan
Langkat Haji Musa pada tahun 1899, selesai dan diresmikan oleh putra dia,
Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah pada tanggal 13 Juni 1902M. Keindahan
Masjid Azizi ini kemudian dijadikan rujukan pembangunan Masjid Zahir di Kedah,
Malaysia, hingga kedua masjid tersebut memiliki kemiripan satu dengan yang
lain.
Masjid Azizi berdiri di
atas tanah seluas 18.000 meter persegi, Masjid Azizi dibangun atas anjuran
Syekh Abdul Wahab Babussalam pada masa pemerintahan Sultan Musa al-Muazzamsyah.
Mulai dibangun pada tahun 1320 H (1899M) atau setidaknya 149 tahun sejak
Langkat resmi berdiri sebagai Kesultanan, namun Sultan Musa wafat sebelum
pembangunan masjid selesari dilaksanakan. Pembangunan diteruskan oleh putranya
yang bergelar Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah (1897-1927) Sultan Langkat
ke-7.
2.
MASJID Al-OSMANI
Masjid Al-Osmani dibangun
pada 1854 oleh Raja Deli ketujuh, yakni Sultan Osman Perkasa Alam dengan
menggunakan bahan kayu pilihan. Kemudian pada 1870 hingga 1872 masjid yang
terbuat dari bahan kayu itu dibangun menjadi permanen oleh anak Sultan Osman,
yakni Sultan Mahmud Perkasa Alam yang juga menjadi Raja Deli kedelapan.
Hingga kini, selain
digunakan sebagai tempat beribadah, masjid itu juga dipakai sebagai tempat
peringatan dan perayaan hari besar keagamaan dan tempat pemberangkatan menuju
pemondokan jamaah haji yang berasal dari Medan utara. Di masjid ini juga
terdapat lima makam raja deli yang dikuburkan yakni Tuanku Panglima Pasutan
(Raja Deli IV), Tuanku Panglima Gandar Wahid (Raja Deli V), Sulthan Amaluddin
Perkasa Alam (Raja Deli VI), Sultan Osman Perkasa Alam, dan Sulthan Mahmud
Perkasa Alam
Ketika pertama kali
dibangun pada tahun, ukuran Masjid Al-Osmani hanya 16 x 16 meter dengan
material utama dari kayu.Pada tahun 1870, Sultan Deli VIII Mahmud Al Rasyid
melakukan pemugaran besar-besaran terhadap bangunan masjid yang diarsiteki
arsitek asal Jerman, GD Langereis. Selain dibangun secara permanen, dengan
material dari Eropa dan Persia, ukurannya juga diperluas menjadi 26 x 26 meter.
Renovasi itu selesai tahun 1872.
3. MASJID RAYA MEDAN
Masjid Raya Medan atau
Masjid Raya Al Mashun merupakan sebuah masjid yang terletak di Medan,
Indonesia. Masjid ini dibangun pada tahun 1906 dan selesai pada tahun 1909.
Pada awal pendiriannya, masjid ini menyatu dengan kompleks istana. Gaya
arsitekturnya khas Timur Tengah, India dan Spanyol. Masjid ini berbentuk segi
delapan dan memiliki sayap di bagian selatan, timur, utara dan barat. Masjid
Raya Medan ini merupakan saksi sejarah kehebatan Suku Melayu sang pemilik dari
Kesultanan Deli (Kota Medan).
Sultan Ma’mun Al Rasyid
Perkasa Alam sebagai pemimpin Kesultanan Deli memulai pembangunan Masjid Raya
Al Mashun pada tanggal 21 Agustus 1906 (1 Rajab 1324 H). Keseluruhan
pembangunan rampung pada tanggal 10 September 1909 (25 Sya‘ban 1329 H)
sekaligus digunakan yang ditandai dengan pelaksanaan sholat Jum’at pertama di
masjid ini. Keseluruhan pembangunannya menghabiskan dana sebesar satu juta
Gulden. Sultan memang sengaja membangun masjid kerajaan ini dengan megah,
karena menurut prinsipnya hal itu lebih utama ketimbang kemegahan istananya
sendiri, Istana Maimun. Pendanaan pembangunan masjid ini ditanggung sendiri
oleh Sultan, namun konon Tjong A Fie, tokoh kota Medan dari etnis Tionghoa yang
sezaman dengan Sultan Ma’mun Al Rasyid turut berkontribusi mendanai pembangunan
masjid ini.
4. ISTANA MAIMUN
Istana Maimun adalah
istana Kesultanan Deli yang merupakan salah satu ikon kota Medan, Sumatera
Utara, terletak di Jalan Brigadir Jenderal Katamso, Kelurahan Sukaraja,
Kecamatan Medan Maimun.
Didesain oleh arsitek
Italia dan dibangun oleh Sultan Deli, Sultan Mahmud Al Rasyid. Pembangunan
istana ini dimulai dari 26 Agustus 1888 dan selesai pada 18 Mei 1891. Istana
Maimun memiliki luas sebesar 2.772 m2 dan 30 ruangan. Istana Maimun terdiri
dari 2 lantai dan memiliki 3 bagian yaitu bangunan induk, bangunan sayap kiri
dan bangunan sayap kanan. Bangunan istana ini menghadap ke utara dan pada sisi
depan terdapat bangunan Masjid Al-Mashun atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Masjid Raya Medan.
Istana Maimun menjadi
tujuan wisata bukan hanya karena usianya yang tua, namun juga desain
interiornya yang unik, memadukan unsur-unsur warisan kebudayaan Melayu, dengan
gaya Islam, Spanyol, India dan Italia. Namun sayang, tempat wisata ini tidak
bebas dari kawasan Pedagang kaki lima.
5. MASJID RAYA BINJAI
Sejarah Masjid Raya Binjai
Mesjid Raya Binjai pertama
kali dibangun oleh Sultan Langkat Tuanku Sultan Haji Musa Al Khalid Al-
Mahadiah Muazzam Shah (Tengku Ngah) Bin Raja Ahmad yang menjabat priode 1840 -
1893. Peletakan Batu pertamanya tahun 1887. dimasa Tuanku Sultan Haji Musa
Pembangunan Masjid ini belum rampung. dan setelah mangkatnya Tuanku Sultan Haji
Musa, Kesultanan diperintah oleh putranya Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil
Rahmat shah (1893 - 1927).
Dan Masjid ini pun selesai
serta diresmikan oleh Tuanku Sultan Abdul Aziz lebih kurang tahun 1894. Pada
tahun 1924 renovasi dilakukan untuk merubah kubah yang ada dimasjid. dan sampai
sekarang ini kubah tersebut tidak dilakukan renovasi lagi. Pada tahun 1990-an
renovasi dilakukan terhadap lantai tras masjid begitu pula dengan pembangunan
menaranya.
6.MASJID RAYA KOTAPINANG
Tidak ada catatan resmi
mengenai sejarah berdirinya Masjid Raya Kotapinang, wajar bila kemudian muncul
dia versi sejarah lisan tentang pembangunan masjidi ini. Menurut masyarakat
muslim di Kotapinang masjid ini didirikan pada masa pemerintahan Sultan Mustafa
Alamsyah XII pada tahun 1800-an sebelum istana Kota Bahran di Jalan Istana
didirikan. Saat itu Kesultanan Kotapinang yang bertahta di Jalan Bukit (kini
lapangan MHB ) mulai mencapai kejayaannnya.
Sedangkan bila merunut
sejarah lisan Masjid Agung Rantauprapat di Kabupaten Labuhanbatu, disebutkan
bahwa Masjid Raya Kotapinang merupakan salah satu dari empat masjid yang
dibangun oleh Kesultanan Bilah dari sisa hasil pungutan pajak. Empat masjid
dimaksud adalah Masjid Raya Rantauprapat (kini menjadi Masjid Agung), Masjid
Kulauh Hulu (Kabupaten Labuhanbatu Utara), Masjid Kota Pinang (Kabupaten
Labuhanbatu Selatan), serta sebuah Masjid Raya di daerah Pesisir Pantai,
Kecamatan Labuhan Bilik. Wallohuwa’lam.
Merujuk kpada penjelasan
Tengku Idrus Mustafa als Aizuz Thafa Hamid yang merupakan ahli waris alm.
Sultan Mustafa Sultan memang sengaja membangung masjid kerajaan ini dengan
megah. Karena menurut prinsipnya hal itu lebih utama ketimbang kemegahan
istananya sendiri. Di masjid ini pula Sultan dapat berinteraksi dengan
masyarakat luas, karena sejak dibangun masjid ini terbuka untuk umum.
7. MASJID RAYA SULTAN AKHMADSYAH TANJUNG BALAI
Masjid Raya Sultan
Ahmadsyah terletak di jalan Masjid, Kelurahan Indra Sakti, Kecamatan Tanjung
Balai Selatan, Kota Tanjung Balai, Provinsi Sumatera Utara. Masjid dibangun di
atas tanah wakaf Kesultanan Asahan dengan luas 10.000 meter persegi dan luas
bangunan 1000 meter persegi. Masjid Raya ini merupakan bangunan masjid
bersejarah yang sudah berumur lebih dari satu abad, warisan dari kesultanan
Asahan yang pernah berjaya di Sumatera Timur. Selesai dibangun tahun 1886
digagas oleh Sultan Akhmadsyah yang namanya di-abadikan sebagai nama masjid
raya ini. Beliau merupakan Sultan Asahan ke sembilan.
Masjid Raya Sultan
Ahmadsyah Tanjung Balai mulai dibangun tahun 1884 dan selesai dibangun pada
tahun 1886. Penggagas pembangunannya adalah Sultan Ahmadsyah yang bergelar
Marhum Maharaja Indrasakti memerintah Kesultanan Asahan mulai tahun 1854 hingga
1888, Sultan Ahmadsyah naik tahta menggantikan ayahanda-nya Sultan Muhammad
Hussein Syah (1813-1854). Dari tahun pembangunannya, Masjid Raya Sultan Akhmadsyah
ini jauh lebih tua dibandingkan dengan Masjid Raya Al-Mahsun di Kota Medan
(1909) maupun Masjid Raya Sulaimaniyah (1894) di kabupaten Serdang Bedagai.
Fungsi didirikannya Masjid
Raya Sultan Ahmadsyah bukan hanya sebagai sebuah tempat ibadah, tetapi juga
merupakan tempat strategis bagi pengembangan masyarakat, Selain sebagai tempat
ritual, masjid juga sebagai pusat tumbuh dan perkembangnya kebudayaan Islam.
8. MASJID RAYA SULAIMANIYAH
Wilayah Kesultanan Serdang
awalnya merupakan bagian dari kesultanan Melayu Deli yang berpusat di kota
Medan, proses suksesi yang tak berjalan lancar di keraton kesultanan Deli
sebagai akibat terjadinya perebutan tahta, berujung kepada pecah kesultanan
Deli dan berdirinya Kesultanan Serdang terpisah dari Kesultanan Deli.
Peninggalan kesultanan serdang masih dapat dinikmati hingga kini berupa Masjid
Raya Sulaimaniiyah di Perbaungan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara.
Masjid Raya Sulaimaniyah
didirikan oleh Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah pada tahun 1894 seiring dengan
dipindahkannya ibukota kesultanan Serdang dari Rantau Panjang (sekarang berada
di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang) ke Istana kota Galuh
Perbaungan (dulu Serdang). Nama masjid ini sendiri dinisbatkan kepada Sultan
Sulaiman, yang membangunnya. Selain di Kota Galuh Perbaungan, Sultan Sulaiman
juga membangun masjid dengan nama yang sama di Pantai Cermin pada tahun 1901
dan sama sama masih eksis hingga kini.
Setiap orang yang melintas
dari arah Medan menuju Tebing Tinggi atau sebaliknya, akan melewati mesjid ini.
Setiap harinya, masjid ini menjadi tempat persinggahan musafir yang ingin
melaksanakan sholat sambil berwisata rohani untuk melihat dari dekat mesjid
peninggalan Sultan Serdang ini.
9. Majid Raya Al-Haji Muhammad Syah
Masjid Raya Al-Haji
Muhammad Syah yang terletak di Jalan Besar Tanjung Pasir Dusun Kampung Tengah
Desa Tanjung Pasir Kecamatan Kualuh Selatan Labuhanbatu Utara (Labura),
merupakan mesjid bercorak Melayu yang didirikan oleh Sultan Kualuh III, Al-Haji
Muhammad Syah pada tahun 1937.
Masjid berukuran sekitar
20 x 20 meter ini terletak tak jauh dari Sungai Kualuh, sungai yang membentang
dari Kecamatan Kualuh Hulu, Kualuh Selatan, Kualuh Hilir, dan Kualuh Leidong.
Kesultanan Kualuh merupakan pecahan Kesultanan Asahan yang berdiri pada abad
XVI, sedangkan Kesultanan Kualuh pada abad XVIII.
Pada tahun 1920 Sultan
Al-Haji Muhammad Syah memindahkan pemerintahan kerajaannya ke Tanjung Pasir dan
mendirikan Istana. Anak gadis Sultan menikah dengan salah seorang pangeran dari
Kerajaan Langkat. Sebagaimana ayahandanya, Putri Sultan yang menjadi permaisuri
tersebut berkeinginan membangun Mesjid di Labura.
10. KESULTANAN ASAHAN
Kesultanan Asahan adalah
sebuah kesultanan yang berdiri pada tahun 1630 di wilayah yang sekarang menjadi
Kota Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, Kabupaten Batubara, Kabupaten Labuhanbatu
Utara, Kabupaten Labuhanbatu, dan Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Kesultanan ini
ditundukkan Belanda pada tahun 1865. Kesultanan Asahan melebur ke dalam negara
Republik Indonesia pada tahun 1946.
Raja Abdul Jalil, Sultan
pertama Asahan merupakan putra Sultan Iskandar Muda. Asahan menjadi bawahan
Kesultanan Aceh sampai awal abad ke-19.
Perjalanan Sultan Aceh,
Sultan Iskandar Muda, ke Johor dan Malaka tahun 1612 dapat dikatakan sebagai
awal dari sejarah Asahan. Dalam perjalanan tersebut, rombongan Sultan Iskandar
Muda beristirahat di kawasan sebuah hulu sungai yang kemudian dinamakan Asahan.
Perjalanan dilanjutkan ke sebuah "Tanjung" yang merupakan pertemuan
antara Sungai Asahan dengan Sungai Silau, kemudian bertemu dengan Raja
Simargolang. Di tempat itu juga Sultan Iskandar Muda mendirikan sebuah
pelataran sebagai "Balai" untuk tempat menghadap, yang kemudian
berkembang menjadi perkampungan. Perkembangan daerah ini cukup pesat sebagai
pusat pertemuan perdagangan dari Aceh dan Malaka, sekarang ini dikenal dengan
"Tanjung Balai.”
Mantap
ReplyDelete