Bangunan Bersejarah Islam di Sumatera Utara - KAHAProject

Breaking

KAHAProject

Just Scribbles To Share...

Friday, March 9, 2018

Bangunan Bersejarah Islam di Sumatera Utara

Pulau Sumatera adalah salah satu jalur utama penyebaran agama Islam di Indonesia. Oleh sebab itu banyak bangunan yang bercorak islam di pulau sumatera salah satunya di Sumatera Utara.

Beberapa bangunan bercorak Islam di Sumatera utara sebagai berikut:


1. MASJID  AZIZI



Masjid Azizi adalah masjid peninggalan Kesultanan Langkat yang berada di kota Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara yang merupakan ibukota kesultanan Langkat pada masa lalu. Masjid ini terletak di tepi jalan lintas Sumatera yang menghubungkan Medan dengan Banda Aceh.

Mulai dibangun oleh Sultan Langkat Haji Musa pada tahun 1899, selesai dan diresmikan oleh putra dia, Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah pada tanggal 13 Juni 1902M. Keindahan Masjid Azizi ini kemudian dijadikan rujukan pembangunan Masjid Zahir di Kedah, Malaysia, hingga kedua masjid tersebut memiliki kemiripan satu dengan yang lain.


Masjid Azizi berdiri di atas tanah seluas 18.000 meter persegi, Masjid Azizi dibangun atas anjuran Syekh Abdul Wahab Babussalam pada masa pemerintahan Sultan Musa al-Muazzamsyah. Mulai dibangun pada tahun 1320 H (1899M) atau setidaknya 149 tahun sejak Langkat resmi berdiri sebagai Kesultanan, namun Sultan Musa wafat sebelum pembangunan masjid selesari dilaksanakan. Pembangunan diteruskan oleh putranya yang bergelar Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah (1897-1927) Sultan Langkat ke-7.


2. MASJID Al-OSMANI



Masjid Al-Osmani dibangun pada 1854 oleh Raja Deli ketujuh, yakni Sultan Osman Perkasa Alam dengan menggunakan bahan kayu pilihan. Kemudian pada 1870 hingga 1872 masjid yang terbuat dari bahan kayu itu dibangun menjadi permanen oleh anak Sultan Osman, yakni Sultan Mahmud Perkasa Alam yang juga menjadi Raja Deli kedelapan.

Hingga kini, selain digunakan sebagai tempat beribadah, masjid itu juga dipakai sebagai tempat peringatan dan perayaan hari besar keagamaan dan tempat pemberangkatan menuju pemondokan jamaah haji yang berasal dari Medan utara. Di masjid ini juga terdapat lima makam raja deli yang dikuburkan yakni Tuanku Panglima Pasutan (Raja Deli IV), Tuanku Panglima Gandar Wahid (Raja Deli V), Sulthan Amaluddin Perkasa Alam (Raja Deli VI), Sultan Osman Perkasa Alam, dan Sulthan Mahmud Perkasa Alam

Ketika pertama kali dibangun pada tahun, ukuran Masjid Al-Osmani hanya 16 x 16 meter dengan material utama dari kayu.Pada tahun 1870, Sultan Deli VIII Mahmud Al Rasyid melakukan pemugaran besar-besaran terhadap bangunan masjid yang diarsiteki arsitek asal Jerman, GD Langereis. Selain dibangun secara permanen, dengan material dari Eropa dan Persia, ukurannya juga diperluas menjadi 26 x 26 meter. Renovasi itu selesai tahun 1872.


3. MASJID RAYA MEDAN



Masjid Raya Medan atau Masjid Raya Al Mashun merupakan sebuah masjid yang terletak di Medan, Indonesia. Masjid ini dibangun pada tahun 1906 dan selesai pada tahun 1909. Pada awal pendiriannya, masjid ini menyatu dengan kompleks istana. Gaya arsitekturnya khas Timur Tengah, India dan Spanyol. Masjid ini berbentuk segi delapan dan memiliki sayap di bagian selatan, timur, utara dan barat. Masjid Raya Medan ini merupakan saksi sejarah kehebatan Suku Melayu sang pemilik dari Kesultanan Deli (Kota Medan).

Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alam sebagai pemimpin Kesultanan Deli memulai pembangunan Masjid Raya Al Mashun pada tanggal 21 Agustus 1906 (1 Rajab 1324 H). Keseluruhan pembangunan rampung pada tanggal 10 September 1909 (25 Sya‘ban 1329 H) sekaligus digunakan yang ditandai dengan pelaksanaan sholat Jum’at pertama di masjid ini. Keseluruhan pembangunannya menghabiskan dana sebesar satu juta Gulden. Sultan memang sengaja membangun masjid kerajaan ini dengan megah, karena menurut prinsipnya hal itu lebih utama ketimbang kemegahan istananya sendiri, Istana Maimun. Pendanaan pembangunan masjid ini ditanggung sendiri oleh Sultan, namun konon Tjong A Fie, tokoh kota Medan dari etnis Tionghoa yang sezaman dengan Sultan Ma’mun Al Rasyid turut berkontribusi mendanai pembangunan masjid ini.


4. ISTANA MAIMUN



Istana Maimun adalah istana Kesultanan Deli yang merupakan salah satu ikon kota Medan, Sumatera Utara, terletak di Jalan Brigadir Jenderal Katamso, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun.

Didesain oleh arsitek Italia dan dibangun oleh Sultan Deli, Sultan Mahmud Al Rasyid. Pembangunan istana ini dimulai dari 26 Agustus 1888 dan selesai pada 18 Mei 1891. Istana Maimun memiliki luas sebesar 2.772 m2 dan 30 ruangan. Istana Maimun terdiri dari 2 lantai dan memiliki 3 bagian yaitu bangunan induk, bangunan sayap kiri dan bangunan sayap kanan. Bangunan istana ini menghadap ke utara dan pada sisi depan terdapat bangunan Masjid Al-Mashun atau yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid Raya Medan.

Istana Maimun menjadi tujuan wisata bukan hanya karena usianya yang tua, namun juga desain interiornya yang unik, memadukan unsur-unsur warisan kebudayaan Melayu, dengan gaya Islam, Spanyol, India dan Italia. Namun sayang, tempat wisata ini tidak bebas dari kawasan Pedagang kaki lima.


5. MASJID RAYA BINJAI





Sejarah Masjid Raya Binjai

Mesjid Raya Binjai pertama kali dibangun oleh Sultan Langkat Tuanku Sultan Haji Musa Al Khalid Al- Mahadiah Muazzam Shah (Tengku Ngah) Bin Raja Ahmad yang menjabat priode 1840 - 1893. Peletakan Batu pertamanya tahun 1887. dimasa Tuanku Sultan Haji Musa Pembangunan Masjid ini belum rampung. dan setelah mangkatnya Tuanku Sultan Haji Musa, Kesultanan diperintah oleh putranya Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmat shah (1893 - 1927).

Dan Masjid ini pun selesai serta diresmikan oleh Tuanku Sultan Abdul Aziz lebih kurang tahun 1894. Pada tahun 1924 renovasi dilakukan untuk merubah kubah yang ada dimasjid. dan sampai sekarang ini kubah tersebut tidak dilakukan renovasi lagi. Pada tahun 1990-an renovasi dilakukan terhadap lantai tras masjid begitu pula dengan pembangunan menaranya.


6.MASJID RAYA KOTAPINANG


  

Tidak ada catatan resmi mengenai sejarah berdirinya Masjid Raya Kotapinang, wajar bila kemudian muncul dia versi sejarah lisan tentang pembangunan masjidi ini. Menurut masyarakat muslim di Kotapinang masjid ini didirikan pada masa pemerintahan Sultan Mustafa Alamsyah XII pada tahun 1800-an sebelum istana Kota Bahran di Jalan Istana didirikan. Saat itu Kesultanan Kotapinang yang bertahta di Jalan Bukit (kini lapangan MHB ) mulai mencapai kejayaannnya.

Sedangkan bila merunut sejarah lisan Masjid Agung Rantauprapat di Kabupaten Labuhanbatu, disebutkan bahwa Masjid Raya Kotapinang merupakan salah satu dari empat masjid yang dibangun oleh Kesultanan Bilah dari sisa hasil pungutan pajak. Empat masjid dimaksud adalah Masjid Raya Rantauprapat (kini menjadi Masjid Agung), Masjid Kulauh Hulu (Kabupaten Labuhanbatu Utara), Masjid Kota Pinang (Kabupaten Labuhanbatu Selatan), serta sebuah Masjid Raya di daerah Pesisir Pantai, Kecamatan Labuhan Bilik. Wallohuwa’lam.

Merujuk kpada penjelasan Tengku Idrus Mustafa als Aizuz Thafa Hamid yang merupakan ahli waris alm. Sultan Mustafa Sultan memang sengaja membangung masjid kerajaan ini dengan megah. Karena menurut prinsipnya hal itu lebih utama ketimbang kemegahan istananya sendiri. Di masjid ini pula Sultan dapat berinteraksi dengan masyarakat luas, karena sejak dibangun masjid ini terbuka untuk umum.


7. MASJID RAYA SULTAN AKHMADSYAH TANJUNG BALAI



Masjid Raya Sultan Ahmadsyah terletak di jalan Masjid, Kelurahan Indra Sakti, Kecamatan Tanjung Balai Selatan, Kota Tanjung Balai, Provinsi Sumatera Utara. Masjid dibangun di atas tanah wakaf Kesultanan Asahan dengan luas 10.000 meter persegi dan luas bangunan 1000 meter persegi. Masjid Raya ini merupakan bangunan masjid bersejarah yang sudah berumur lebih dari satu abad, warisan dari kesultanan Asahan yang pernah berjaya di Sumatera Timur. Selesai dibangun tahun 1886 digagas oleh Sultan Akhmadsyah yang namanya di-abadikan sebagai nama masjid raya ini. Beliau merupakan Sultan Asahan ke sembilan.

Masjid Raya Sultan Ahmadsyah Tanjung Balai mulai dibangun tahun 1884 dan selesai dibangun pada tahun 1886. Penggagas pembangunannya adalah Sultan Ahmadsyah yang bergelar Marhum Maharaja Indrasakti memerintah Kesultanan Asahan mulai tahun 1854 hingga 1888, Sultan Ahmadsyah naik tahta menggantikan ayahanda-nya Sultan Muhammad Hussein Syah (1813-1854). Dari tahun pembangunannya, Masjid Raya Sultan Akhmadsyah ini jauh lebih tua dibandingkan dengan Masjid Raya Al-Mahsun di Kota Medan (1909) maupun Masjid Raya Sulaimaniyah (1894) di kabupaten Serdang Bedagai.

Fungsi didirikannya Masjid Raya Sultan Ahmadsyah bukan hanya sebagai sebuah tempat ibadah, tetapi juga merupakan tempat strategis bagi pengembangan masyarakat, Selain sebagai tempat ritual, masjid juga sebagai pusat tumbuh dan perkembangnya kebudayaan Islam.


8. MASJID RAYA SULAIMANIYAH



Wilayah Kesultanan Serdang awalnya merupakan bagian dari kesultanan Melayu Deli yang berpusat di kota Medan, proses suksesi yang tak berjalan lancar di keraton kesultanan Deli sebagai akibat terjadinya perebutan tahta, berujung kepada pecah kesultanan Deli dan berdirinya Kesultanan Serdang terpisah dari Kesultanan Deli. Peninggalan kesultanan serdang masih dapat dinikmati hingga kini berupa Masjid Raya Sulaimaniiyah di Perbaungan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara.

Masjid Raya Sulaimaniyah didirikan oleh Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah pada tahun 1894 seiring dengan dipindahkannya ibukota kesultanan Serdang dari Rantau Panjang (sekarang berada di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang) ke Istana kota Galuh Perbaungan (dulu Serdang). Nama masjid ini sendiri dinisbatkan kepada Sultan Sulaiman, yang membangunnya. Selain di Kota Galuh Perbaungan, Sultan Sulaiman juga membangun masjid dengan nama yang sama di Pantai Cermin pada tahun 1901 dan sama sama masih eksis hingga kini.

Setiap orang yang melintas dari arah Medan menuju Tebing Tinggi atau sebaliknya, akan melewati mesjid ini. Setiap harinya, masjid ini menjadi tempat persinggahan musafir yang ingin melaksanakan sholat sambil berwisata rohani untuk melihat dari dekat mesjid peninggalan Sultan Serdang ini.


9. Majid Raya Al-Haji Muhammad Syah



Masjid Raya Al-Haji Muhammad Syah yang terletak di Jalan Besar Tanjung Pasir Dusun Kampung Tengah Desa Tanjung Pasir Kecamatan Kualuh Selatan Labuhanbatu Utara (Labura), merupakan mesjid bercorak Melayu yang didirikan oleh Sultan Kualuh III, Al-Haji Muhammad Syah pada tahun 1937.

Masjid berukuran sekitar 20 x 20 meter ini terletak tak jauh dari Sungai Kualuh, sungai yang membentang dari Kecamatan Kualuh Hulu, Kualuh Selatan, Kualuh Hilir, dan Kualuh Leidong. Kesultanan Kualuh merupakan pecahan Kesultanan Asahan yang berdiri pada abad XVI, sedangkan Kesultanan Kualuh pada abad XVIII.

Pada tahun 1920 Sultan Al-Haji Muhammad Syah memindahkan pemerintahan kerajaannya ke Tanjung Pasir dan mendirikan Istana. Anak gadis Sultan menikah dengan salah seorang pangeran dari Kerajaan Langkat. Sebagaimana ayahandanya, Putri Sultan yang menjadi permaisuri tersebut berkeinginan membangun Mesjid di Labura.


10. KESULTANAN ASAHAN



Kesultanan Asahan adalah sebuah kesultanan yang berdiri pada tahun 1630 di wilayah yang sekarang menjadi Kota Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, Kabupaten Batubara, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu, dan Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Kesultanan ini ditundukkan Belanda pada tahun 1865. Kesultanan Asahan melebur ke dalam negara Republik Indonesia pada tahun 1946.

Raja Abdul Jalil, Sultan pertama Asahan merupakan putra Sultan Iskandar Muda. Asahan menjadi bawahan Kesultanan Aceh sampai awal abad ke-19.

Perjalanan Sultan Aceh, Sultan Iskandar Muda, ke Johor dan Malaka tahun 1612 dapat dikatakan sebagai awal dari sejarah Asahan. Dalam perjalanan tersebut, rombongan Sultan Iskandar Muda beristirahat di kawasan sebuah hulu sungai yang kemudian dinamakan Asahan. Perjalanan dilanjutkan ke sebuah "Tanjung" yang merupakan pertemuan antara Sungai Asahan dengan Sungai Silau, kemudian bertemu dengan Raja Simargolang. Di tempat itu juga Sultan Iskandar Muda mendirikan sebuah pelataran sebagai "Balai" untuk tempat menghadap, yang kemudian berkembang menjadi perkampungan. Perkembangan daerah ini cukup pesat sebagai pusat pertemuan perdagangan dari Aceh dan Malaka, sekarang ini dikenal dengan "Tanjung Balai.”

1 comment: